Kelebihan Jurusan Ilmu Komunikasi
jurusan ilmu komunikasi ini sangat bagus, karena komunikasi pada
jaman ini sangat penting karena juga komunikasi yang menuntun segalanya
contohnya saja sehebat apapun perusahaan A kalau kurang omunkasi ke
masyarakat tetap saja dipandang buruk. dalam jurusan ilmu komunikasi ada
4 jurusan pertama, public relation disini di belajartentang hubungan suatu perusahaan dengan masyarakat prospek kerjanya public relation, event organiser, management artis, public speaker, dll kedua, advertising
disini belajar tentang periklanan, buat iklan, en gak harus bisa gambar
kok, karena bisa pake komputer, yang penting kreatif prospek kerjanya: semua yang ada di advertising agency (bagian media,bagian creative,dll) ketiga, marketing : disini belajar tentang marketing/pemasaran tapi lebih ke komunikasinya..
prospek kerjanya : marketing, public speaker,sales ,dll dan terakhir mass
communication disini belajar tentang broadcasting, mulai dari bikin
script buat radio ato berita, trus cara bikin film, cara editing,cara
jadi presenter, sutradara, kameramen,dll prospek
kerjanya : yang ini banyak, hampir semua bidang komunikasi bisa jadi
pekerjaan yg lulus dari jurusan mass communication, soalnya di mass
communication pelajarin public relation, advertising en marketing juga. dari yang saya sebutkan bisa di lihat bahwa jurusan ilmu komunikasi prospek kerjanya sangat bagus.
PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA
PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA
Sejarah Ilmu Komunikasi di Indonesia dan perkembangannya
Istilah
komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara
estimologis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama,
atau sama makna (Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157).
Jadi, apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi
tersebut akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang
dipercakapkan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia
sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang
digunakan sebagai perantara.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan
dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat
indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain,
terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena dipakai
untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan
kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan
berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi
paraktis,ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Sementara itu, bedanya
dengan ilmu yang murni mengembangkan ilmu itu sendiri tanpa
mempertimbangkan apakah ilmu tersebut secara langsung berguna bagi
masyarakat atau tidak.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji
saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang
panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian
membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia,
termasuk ilmu komunikasi.
Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat
beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung
dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama
Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama
Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu
komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya
jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan
Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan
Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama
Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam
berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa tokoh
yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian
mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun,
Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada
tahun 1960-an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua
pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S.
Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika
Serikat (1967).
Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi
perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana
telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan
sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia
hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau
klasik yang dinamakan perspektif mekanistis.
Hampir semua penelitian
empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif
mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik
saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh,
bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu
komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru,
gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang
Komunikasi Massa dan Perkembangannya di Indonesia
Fungsi dan unsur-unsur komunikasi massa
Komunikasi
massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi
massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran
media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat.
Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
- Serempak
- Meluas
- Segera
- Anonim (tidak saling kenal)
- Melembaga
- Komunikasi searah
- Influence (mempengaruhi)
- Menginformasikan
Adapun unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut :
- Sumber/komunikator
- Pesan/informasi
- Saluran/media
- Penerima pesan/komunikan
- Efek
Perkembangan komunikasi massa
Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia :
Tahun 1920-1945
Di
masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan
tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan
gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah
tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia
relatif rendah.
Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai
alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam
semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah
meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari
pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita
yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak
dapat bergerak dengan bebas.
Tahun 1945-1965
Berbeda dengan
masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan
secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas
dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua
gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media
secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh
pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh
pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Peran pemerintah
di masa Orde Lama terlihat sangat dominant.
Hal ini dibuktikan dengan
adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer
Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober
1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan
juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian
dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963.
Tahun 1965- 1998
Di
masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa
kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual
masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah
yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas
menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media.
Peran
media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat
masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih
diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan
bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan.
Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik
pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala
Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin
redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar
Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia
negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan
di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak
12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit
(SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan
sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal
asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan
tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan
nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan
keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang
menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan
pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib
Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978,
berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto
sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar
Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore)
dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,
dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran
tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Proses
komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan
adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut,
yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara
cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers
Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development
journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk
dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau
“Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga
bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang
Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan
tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti
pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai
Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti
mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers
itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers
yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan
kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers
Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka
yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila
merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi
korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah.
Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan
obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa
terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata
menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan
fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto
membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang
disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui
telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat
pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak
disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim
kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi
media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak
tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk
sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa
eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi
pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self
censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa
dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat
tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama
(headline) oleh pers.
Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah
runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak
dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya
melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari
pemerintah.
Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya
dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan
hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi
perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten,
bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang
semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak
mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Pada era ini jurnalisme radio
mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan
Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti
sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media
televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman
Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan
stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya
frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding
era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai
dengan tugas dan fungsinya
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiharsono S, Suyuti, Drs, Hj, 2003. Politik Komunikasi, Jakarta, Grasindo.
2. Arifin, Anwar, Prof, Dr, H, 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas, Jakarta, Rajawali Press.
3. Effendy, Onong Uchjana, Prof, Drs, MA, 2004. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.